Di dunia digital yang bergerak dalam milidetik, kecepatan dan kedekatan bukan lagi kemewahan, melainkan kebutuhan dasar. Pengguna sistem informasi saat ini tidak ingin menunggu. Mereka menuntut respons instan, layanan real-time, dan akses tanpa hambatan. Untuk menjawab tuntutan ini, dunia teknologi informasi bergerak ke arah Edge Computing—sebuah pendekatan baru yang memindahkan pusat komputasi lebih dekat ke titik penggunaan.

Secara sederhana, edge computing berarti memproses data di tepi jaringan, bukan di pusat data yang jauh. Ini seperti membawa dapur ke meja makan—mengurangi waktu antar dan memastikan pengalaman yang lebih segar, lebih cepat, dan lebih personal. Dalam konteks sistem informasi, edge computing memungkinkan aplikasi merespons pengguna dengan latensi minimal, sekaligus mengurangi beban pada jaringan inti dan server pusat.

Transformasi ini sudah terjadi di berbagai sektor. Di sektor ritel, misalnya, sistem informasi di toko-toko kini dilengkapi edge nodes untuk menjalankan sistem kasir, manajemen inventori, dan deteksi perilaku pelanggan secara lokal, tanpa harus mengandalkan koneksi ke cloud setiap saat. Hasilnya? Proses pembayaran lebih cepat, analitik real-time lebih akurat, dan pelanggan lebih puas.

Dalam bidang kesehatan, rumah sakit dan klinik menggunakan edge computing untuk menjalankan sistem informasi medis, termasuk monitoring pasien dan pemrosesan citra medis. Menurut studi IEEE Access (2023), edge computing mampu mengurangi latensi pemrosesan data medis hingga 70%, yang krusial dalam penanganan kondisi kritis.

Studi kasus menarik datang dari Walmart, yang memanfaatkan edge computing untuk menjalankan sistem informasi operasional toko mereka. Dengan edge nodes yang tersebar di ribuan lokasi, Walmart dapat mendeteksi anomali stok, pola pembelian, dan kebutuhan replenishment secara real-time, tanpa menunggu data dikirim ke pusat terlebih dahulu.

Sistem informasi berbasis edge juga memberi keuntungan besar dalam hal keamanan dan privasi. Karena data diproses secara lokal, risiko transfer data sensitif ke server eksternal bisa diminimalkan. Ini sangat penting di era regulasi ketat seperti GDPR dan UU PDP di Indonesia, di mana perlindungan data pengguna menjadi prioritas utama.

Namun, adopsi edge computing juga menuntut pendekatan baru dalam arsitektur sistem informasi. Dibutuhkan integrasi dengan cloud, manajemen perangkat edge secara terpusat, dan kemampuan sinkronisasi data yang konsisten antar lokasi. Karena itu, peran arsitek sistem dan pengembang TI menjadi lebih strategis dalam mendesain solusi hybrid yang menggabungkan kekuatan cloud dan edge secara harmonis.

Kesimpulannya, edge computing bukan sekadar teknologi baru. Ia adalah fondasi baru untuk sistem informasi modern—lebih cepat, lebih dekat, dan lebih relevan dengan kebutuhan pengguna masa kini.


Referensi Ilmiah dan Industri
  1. IEEE Access. (2023). Edge Computing Architectures for Distributed Information Systems.
  2. Gartner. (2024). The Future of Edge in Enterprise IT Strategies.
  3. Walmart Tech Blog. (2023). How Edge Infrastructure Powers Real-Time Store Intelligence.
  4. McKinsey Digital. (2023). Edge Computing and Its Business Value in Information Systems.
  5. Cisco. (2022). Edge and Fog Computing for Next-Generation IT.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *